BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum
Perdata
1. Definisi
Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak
dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum
di daratan Eropa (civil law) dikenal
pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum
perdata. Dalam sistem Anglo Saxson (common
law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
Ø Definisi Hukum
Perdata menurut para ahli:
1.
Sri Sudewi Masjchoen Sofwan
Hukum yang mengatur kepentingan
warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
2.
Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.
Hukum yang mengatur kepentingan
perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
3.
Sudikno Mertokusumo
Hukum antar perseorangan yang
mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam
lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan masyarakat.
4.
Prof. R. Soebekti, S.H.
Semua hak yang meliputi hukum privat
materiil yang mengatur kepentingan perseorangan.
Ø Definisi
secara umum:
Suatu peraturan hukum yang mengatur
orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain di dalam
masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
2. Sejarah
Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum
perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi
Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling
sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi
yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang).
Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu
diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun
sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun
Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda,
berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr. J. M. Kemper disebut
ONTWERP KEMPER, namun sayangnya Kemper meninggal dunia pada tahun 1824 sebelum
menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua
Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6
Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal
1 Oktober 1838 karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu:
1. Burgerlijk Wetboek
yang disingkat BW atau Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Belanda.
2. Wetboek van Koophandel disingkat
WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)
Kodifikasi ini menurut Prof. Mr. J. Van
Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin
dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
3. KUHPer
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata
Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang
pada awalnya berinduk pada Kitab Undang - Undang Hukum Perdata yang aslinya
berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat
dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti
dengan Undang - Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan,
UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr. C.J. Scholten
van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van
Vloten dan Mr. Meyer, masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya
ini diganti dengan Mr. J. Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPer
Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan
berlaku Januari 1948.
Setelah
Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPer
Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang
baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata
Indonesia.
4. Hukum Perdata Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak
dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum.
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari
hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara
serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan
pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan
(hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga
negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan,
perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Ada beberapa sistem hukum yang
berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang
hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang
berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau
negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem
hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan
sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum
perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Kitab Undang - Undang Hukum Perdata
(dikenal KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang
kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di
kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda)
berdasarkan asas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama
Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai tahun 1859. Hukum perdata Belanda sendiri
disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa
penyesuaian.
5. Unsur
dan Azas Hukum Perdata
Ø Unsur
yang terpenting dari Hukum Perdata :
1) norma
peraturan
2) sanksi
3) mengikat/dapat
dipaksakan
Ø Azas-azas
hukum perdata:
a) Azas
Individualitas
b) Azas
Kebebasan Berkontrak
c) Azas
Monogami (dalam hukum perkawinan)
a. Azas
Individualitas
Dapat menikmati dengan sepenuhnya dan
menguasai sebebas-bebasnya (hak eigendom) dan dapat melakukan perbuatan hukum,
selain itu juga dapat memiliki hasil, memakai, merusak, memelihara, dan
sebagainya. Batasan terhadap azas individualitas:
v Hukum
Tata Usaha Negara (campur tangan pemerintah terhadap hak milik)
v Pembatasan
dengan ketentuan hukum bertetangga
v Tidak
menyalahgunakan hak dan mengganggu kepentingan orang lain
b. Azas
Kebebasan Berkontrak
Setiap orang berhak mengadakan perjanjian
apa pun juga, baik yang telah diatur dalam UU maupun yang belum (pasal 1338
KUHPer) asal perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum
dan kesusilaan.
c. Azas
Monogami
Seorang laki-laki dalam waktu yang sama
hanya diperbolehkan mempunyai satu orang istri. Namun dalam pasal 3 ayat (2) UU
No.1 Tahun 1974 tentang Undang - Undang Pokok Perkawinan (UUPP) membuka peluang
untuk berpoligami dengan memenuhi syarat-syarat pada pasal 3 ayat (2), pasal 4
dan pasal 5 pada UUPP.
6. Perkembangan KUHPer Di Indonesia
Hukum Perdata Eropa (Code Civil Des
Francais) dikodifikasi tanggal 21 Maret 1804. Pada tahun 1807, Code Civil Des
Francais diundangkan dengan nama Code Napoleon. Selanjutnya tahun 1811 – 1830,
Code Napoleon berlaku di Belanda. KUHPerdata Indonesia berasal dari Hukum
Perdata Belanda, yaitu buku "Burgerlijk Wetboek" (BW) dan dikodifikasi
pada tanggal 1 Mei 1848. Setelah kemerdekaan, KUHPer tetap diberlakukan di
Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada (termasuk KUHPer)
masih tetap berlaku selama belum ada peraturan yang baru menurut UUD ini.
KUHPer mengalami beberapa perubahan, yaitu; tahun 1960: UU No.5/1960 mencabut
buku II KUHPer sepanjang mengatur tentang bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya kecuali hypotek; Tahun 1963; Mahkamah Agung mengeluarkan
Surat Edaran tertanggal 5 September 1963, dengan mencabut pasal-pasal tertentu
dari BW yaitu pasal 108, 824 (2), 1238, 1460, 1579, 1603 x (1),(2) dan 1682;
dan tahun 1974; UU No.1/1974, mencabut ketentuan pasal 108 tentang kedudukan
wanita yang menyatakan wanita tidak cakap bertindak.
7. Sistematika
Hukum Perdata
a. Menurut
Ilmu Pengetahuan
Buku I : Hukum Perorangan (Personenrecht)
Buku II : Hukum Keluarga (Familierecht)
Buku III : Hukum Harta Kekayaan
(Vermogensrecht)
Buku IV : Hukum Waris (Erfrecht)
b. Menurut
KUHPer
Buku I : Perihal Orang (Van Personen)
Buku
II : Perihal Benda (Van Zaken)
Buku
III : Perihal Perikatan (Van Verbintennisen)
Buku IV : Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa
(Van Bewijs en Verjaring)
A. Buku
I :
Perihal Orang
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang
dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban.
Subjek hukum terdiri atas :
-
Manusia/Perorangan ( Natuurlijk Persoon )
-
Badan Hukum ( Rechtpersoon )
Status manusia sebagai subjek hukum
merupakan kodrat / bawaan dari lahir, sedangkan status badan hukum sebagai
subjek hukum ada karena pemberian oleh hukum. Manusia dan badan hukum sama-sama
menyandang hak dan kewajiban. Hal-hal yang membatasi kewenangan hukum manusia
adalah tempat tinggal, umur, nama dan perbuatan seseorang. Buku I mengatur
mengenai subjek hukum dan peraturan-peraturan hubungan keluarga, yang meliputi:
1) Perkawinan
dan hak-hak kewajiban suami/istri
2) Kekayaan
perkawinan
3) Kekuasaan
orang tua
4) Perwalian
dan pengampuan
1. Perkawinan
dan Hak – Hak Kewajiban Suami/Istri
Hukum perkawinan adalah
peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta
akibatnya antara 2 pihak yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan
maksud untuk hidup bersama.
Hak
dan kewajiban suami/istri adalah sebagai berikut:
1) Kekuasaan
marital ada pada suami
2) Kewajiban
nafkah dari suami
3) Istri
mengikuti domisili suami
4) Istri
berhak membuat surat wasiat tanpa seizin suami
2. Kekayaan
Perkawinan
Ketika perkawinan telah dilangsungkan/dilaksanakan,
maka demi hukum berlakulah persatuan bulat antara kekayaan suami dan istri
selama tidak adanya perjanjian lain.
3. Kekuasaan
Orang Tua
Sebagai orang tua, wajib untuk memelihara
dan memberikan bimbingan kepada anak-anaknya yang belum cakap (belum dewasa),
kekuasaan orang tua berlaku selama orang tua masih terikat dengan perkawinan.
4. Perwalian
dan Pengampuan
a) Perwalian
Perwalian diberikan
kepada anak yatim piatu/anak yang belum dewasa (yang tidak dalam kekuasaan
orang tua) guna memberikan bimbingan dan pemeliharaan terhadap anak tersebut.
b) Pengampuan
Keadaan di mana seseorang tidak dapat mengendalikan emosinya, karena
sifat-sifat pribadinya sehingga oleh hukum dianggap tidak cakap untuk bertindak
sendiri dalam hukum.
Ø Curandus,
adalah orang yang di bawah pengampuan.
Ø Curator
adalah orang yang ditunjuk sebagai wakil dari seorang curandus.
Ø Curatele
adalah lembaga pengampuan.
Pengampuan terjadi karena adanya keputusan
hakim yang didasarkan pada adanya permohonan, yang dapat diajukan oleh :
Ø Keluarga
sedarah
Ø Keluarga
semenda dalam garis menyimpang sampai derajat keempat
Suami terhadap istri dan sebaliknya
Ø Diri
sendiri
Ø Kejaksaan
Akibat
pengampuan :
Ø Orang
tersebut kedudukannya sama dengan anak di
bawah umur
Perbuatan hukum yang dilakukan dapat dibatalkan (dapat dimintakan pembatalannya
oleh curator).
Ø Pengampuan
berakhir apabila keputusan hakim tersebut dicabut atau karena meninggalnya
curandus.
B. Buku
II: Perihal Benda
Keseluruhan aturan hukum yang mengatur
mengenai benda, meliputi pengertian, macam-macam benda, dan hak-hak kebendaan. Hukum
Benda bersifat tertutup dan memaksa. Tertutup adalah seseorang tidak boleh
mengadakan hak kebendaan jika hak tersebut tidak diatur dalam UU, dan memaksa
adalah harus dipatuhi dan dituruti, tidak boleh menyimpang.
Macam-macam
benda/barang:
Ø Benda
berwujud dan tidak berwujud. Arti penting pembagian ini adalah, bagi benda
berwujud bergerak dilakukan dengan penyerahan langsung benda tersebut, bagi
benda berwujud tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Contoh yang
menggunakan balik nama; tanah, rumah dan sebagainya. Sedangkan bagi benda tidak
berwujud (seperti piutang) bisa dilakukan dengan cara cessie ataupun dengan cara penyerahan surat secara langsung.
Ø Benda
bergerak dan tidak bergerak. Arti pentingnya pembagian ini terletak pada
penguasaan (bezit), penyerahan (levering), daluarsa (verjaring), serta pembebanan (berzwaring).
1) Benda
bergerak benda tidak bergerak. Penguasaan Orang yang menguasai benda dianggap
pemiliknya Orang yang menguasai benda belum tentu adalah pemiliknya
2) Penyerahan
dilakukan dengan langsung dilakukan dengan balik nama
3) Daluarsa/kadaluwarsa
4) Pembebanan
dengan penggadaian dengan di hypotek,
hak tanggungan.
Ø Benda
habis dipakai dan benda tidak habis dipakai. Arti pentingnya pembagian ini
terletak pada waktu pembatalan perjanjiannya. Jika dalam perjanjian objeknya
adalah benda habis dipakai, apabila terjadi pembatalan perjanjian maka akan
terjadi kesulitan untuk pemulihan objek tersebut karena telah terpakai. Maka
dari itu, penyelesaiannya adalah dengan cara mengganti dengan benda yang
sejenis dan senilai.
Ø Benda
yang sudah ada dan yang akan ada. Arti pentingnya pembagian ini terletak pada
pembebanan sebagai jaminan hutang atau pelaksanaan perjanjian. Sesuai dengan
pasal 1320 KUHPer, syarat sahnya perjanjian adalah adanya sepakat, cakap hukum,
objek tertentu, dan halal. Jika objek yang dalam perjanjian itu adalah barang
yang sudah ada, maka perjanjian sah-sah saja. Sebaliknya apabila objek yang diperjanjikan
adalah barang yang akan ada, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Ø Benda
dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan. Arti pentingnya terletak pada
cara pemindah tanganan. Benda dalam perdagangan dapat diperjualbelikan dan
diwariskan secara bebas. Tetapi, jika benda di luar perdagangan tidak dapat
diperjualbelikan ataupun diwariskan. Contoh benda di luar perdagangan; benda
wakaf, narkotika, perdagangan wanita untuk pelacuran, dan lain sebagainya.
Ø Benda
dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Arti pentingnya pembagian terletak pada
pemenuhan prestasi suatu perikatan. Contoh benda dapat dibagi; beras, minyak,
air, kertas, dan lain-lain. Sedangkan contoh benda tidak dapat dibagi;
binatang, manusia, mobil, rumah, kapal, dan lain-lain. Suatu benda dikatakan
tidak dapat dibagi karena akan berubah nama dan fungsinya.
Ø Benda
terdaftar dan benda tidak terdaftar. Pada benda terdaftar, kepemilikan dapat
dilacak dengan mudah sedangkan pada benda tidak terdaftar lebih sulit untuk
pembuktian kepemilikan. Contoh benda terdaftar; rumah, mobil, kapal, motor, dan
lain-lain. Benda-benda tersebut ada surat kepemilikannya. Sedangkan contoh
benda tidak terdaftar; uang, telepon, kursi, dan lain-lain.
C. Buku
III: Perihal Perikatan
Buku III mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata
"Perikatan" di sini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan
ada yang bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu
perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan
orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang
hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan
peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.
Perikatan adalah terjemahan dari istilah
aslinya dalam bahasa Belanda "verbintenis".
Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia.
Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain.
Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Misalnya
jual beli barang, dapat berupa peristiwa misalnya lahirnya seorang bayi, matinya
orang, dapat berupa keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak
rumah yang bergandengan atau bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada
dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh
masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan
yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum
(legal relation) Jika dirumuskan,
perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan
orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini
dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of
property), dalam bidang hukum keluarga (family
law), dalam bidang hukum waris (law
of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht) sehingga terhadap beberapa
ketentuan, apabila disepakati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat
mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur di dalam BW. Sampai saat
ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang
dapat di simpangi dan aturan mana yang tidak dapat di simpangi. Namun demikian,
secara logis yang dapat di simpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara
khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih
dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum
tidak dapat di simpangi (misal; syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan
perjanjian).
D. Buku
IV: Perihal Pembuktian dan Kadaluwarsa
Buku keempat mengatur tentang pembuktian
dan kadaluwarsa. Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara
(HIR) namun juga diatur di dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata.
1) Di
dalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga
mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu:
a) Surat-surat
b) Kesaksian
c) Persangkaan
d) Pengakuan
e) Sumpah
2) Daluarsa/kadaluwarsa
Kadaluwarsa (lewat waktu) berkaitan dengan
adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan
suatu hak milik (acquisitive verjaring)
atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu
penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive
verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai "pelepasan
hak" atau "rechtsverwerking"
yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau
tindakan seseorang yang menunjukkan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu
hak.
B. Hukum
Acara Perdata
1. Pengertian
Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata secara umum adalah
peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim
(di pengadilan) sejak diajukan gugatan, diperiksanya gugatan, diputusnya sengketa
sampai pelaksaan putusan hakim. Hukum acara perdata mengatur bagaimana cara dan
siapa yang berwenang menegakkan hukum materiel dalam hal apabila terjadi
pelanggaran terhadap hukum materiel.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara
perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap pengadilan dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan hukum perdata. Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formal,
yaitu semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana
melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur
dalam hukum perdata materiel.
Dalam
hukum acara perdata bahwa orang yang merasa haknya dilanggar disebut penggugat,
sedangkan bagi orang yang ditarik ke muka pengadilan karena dianggap melanggar
hak seseorang atau beberapa orang itu disebut dengan tergugat. Penggugat adalah
seseorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa”
melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim.
2.
Sumber Hukum Acara Perdata
Di
dalam ilmu hukum, dikenal beberapa sumber hukum dalam arti formal, yaitu:
1)
Undang – Undang
2)
Perjanjian (antarnegara)
3)
Kebiasaan
4)
Doktrin
5)
Yurisprudensi
Sumber hukum acara perdata adalah tempat
di mana dapat ditemukan peraturan hukum acara perdata yang berlaku di
Indonesia, yaitu:
1)
Herziene Inlandsch Reglemen (HIR)
HIR
adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura.
2)
Rechtsreglement voor de Buitengewesten
(RBg.)
Adalah
hukum perdata Eropa yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia. RBg adalah hukum
acara perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura.
3)
Burgerlijk Wetboek (WB)
BW
(Kitab Undang – Undang Hukum Perdata), meski meskipun sebagai kodifikasi hukum
perdata materiel, namun juga memuat Hukum Acara Perdata, terutama dalam Buku IV
tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa.
4)
Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29
5)
Wetboek van Koophandel (WvK)
6)
Undang – Undang
7)
Yurisprudensi
8)
Peraturan Mahkamah Agung
9)
Adat dan Kebiasaan
10)
Doktrin
11)
Instruksi dan Surat Edaran MA
3.
Azas – Azas Hukum Acara Perdata
Asas dari hukum acara perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaannya
yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan.
1.
Hakim Bersifat Menunggu
Maksudnya
ialah menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya, jika tidak ada
tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim.
2.
Hakim Pasif
Hakim
di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa
pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
Hakim tidak boleh menambah atau mengurangi. Akan tetapi, itu semua tidak
berarti bahwa hakim tidak aktif sama
sekali .
3.
Sifatnya Terbuka Persidangan
Sidang
pemeriksaan di pengadilan pada asanya adalah terbuka untuk umum, yang berarti
bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan persidangan.
Tujuannya ialah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang
peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan
mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair.
4.
Mendengar Kedua Belah Pihak (Penggugat dan
Tergugat Melalui Surat – Surat)
Dalam
Pasal 5 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hukum acara
perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan
yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberikan
pendapatnya.
5.
Putusan Harus Disertai Alasan – Alasan
MA
dalam berbagai putusannya menggariskan bahwa putusan yang tidak lengkap atau
kurang cukup dipertanggungjawabkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus
dibatalnya.
6.
Beracara Dikenakan Biaya
Biaya
perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya panggilan pemberitahuan para
pihak serta biaya materai. Namun bagi yang tidak mampu untuk membayar perkara,
dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma dengan mendapatkan izin untuk
dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan
tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi.
7.
Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR
tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan perkaranya kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan.
Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya jika dikehendaki.
8.
Peradilan Dilakukan dengan Sederhana,
Cepat, dengan Biaya Ringan (Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009)
Sederhana,
maksudnya acara tersebut jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat
menunjukkan jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak
berlarut-larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya. Biaya
ringan maksudnya biaya yang sesederhana mungkin sehingga dapa terjangkau oleh
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Perdata adalah segala hukum pokok
yang mengatur kepentingan – kepentingan perorangan. Jadi, dalam peradilan hukum
perdata itu diutamakan perdamaian karena hukum itu tidak hanya difungsikan
untuk menghukum seseorang, tapi juga sebagai alat untung mendapatkan keadilan.
Sedangkan Hukum Acara Perdata adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan
perantaraan kekuasaan negara itu terjadi melalui peradilan.
B.
Saran
Dengan
adanya Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata di Indonesia ini kita diharapkan
mampu untuk mencegah, ataupun menjauhi tindakan-tindakan pidana maupun perdata,
karena sekecil apa pun tindakan yang bisa merugikan orang lain bahkan
mencelakai orang lain, kita akan dihadapkan dengan kedua hukum di atas.