Senin, 12 Desember 2016

Materi Kuliah | Pengantar Tata Hukum Indonesia


HUKUM PERDATA DAN HUKUM ACARA PERDATA

OLEH:
DAYANG NURFITRI
E1011161127
DOSEN: INDAH SULISDIANI, M. Si


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016



KATA PENGANTAR
            Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya-lah penulis bisa menyelesaikan tugas tentang “Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata” ini dengan lancar. Tugas ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia pada semester ganjil dan menambah pengetahuan tentang Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, program studi Ilmu Administrasi Negara (kelas C), Universitas Tanjungpura, Pontianak, tahun 2016.
Dalam penyusunan dan penulisan makalah ini, tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Indah Sulisdiani, M.Si, selaku dosen dari mata kuliah PTHI yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian tugas ini, terima kasih pula kepada sumber-sumber yang telah memberikan bantuan dan informasi seputar materi ini, dan juga teman-teman yang telah memberikan dukungan dan kerja sama dalam penyelesaian tugas mata kuliah ini.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih memiliki banyak sekali kekurangan maupun kesalahan dari segi tulisan maupun materi yang dibahas. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Ibu Indah Sulisdiani, M.Si selaku dosen mata kuliah PTHI dan pembaca sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam tugas ini dan tugas-tugas lainnya di masa mendatang. Semoga tugas ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan kita mengenai Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Pontianak, September 2016


Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C.     Tujuan ..................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Hukum Perdata ........................................................................................................ 2
1.                  Pengertian dan Definisi Hukum Perdata ............................................... 2
2.                  Sejarah Hukum Perdata ......................................................................... 2
3.                  KUHPer ................................................................................................ 3
4.                  Hukum Perdata Indonesia ..................................................................... 4
5.                  Unsur dan Azas Hukum Perdata ,........................................................... 5
6.                  Perkembangan KHUPer di Indonesia .................................................... 6
7.                  Sistematika Hukum Perdata .................................................................. 7
B.     Hukum Acara Perdata ........................................................................................... 12
1.         Pengertian Hukum Acara Perdata ........................................................ 12
2.         Sumber Hukum Acara Perdata ............................................................ 12
3.         Azas - Azas Hukum Acara Perdata ...................................................... 13

BAB III PENUTUP
            A.  Kesimpulan ............................................................................................................ 16
B.  Saran ...................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang diatur dalam Hukum Perdata hanya hal-hal yang berkaitan dengan hubungan orang-perorangan, jika di luar dari itu bukan termasuk wewenang hukum perdata.
Hukum perdata dapat lahir dari UU dan Perjanjian. Hukum perdata mempunyai sumber referensi pertama yang disebut dengan KUHPer (Kitab Undang – Undang Hukum Perdata) atau yang biasa dikenal dengan sebutan BW  (Burgerlijk Wetboek). Jadi jangan bingung jika sewaktu-waktu ada keterangan pasal yang ditulis Pasal 1028 BW, itu sama saja dengan pasal 1028 KHUPer. Pembagian materi ini dapat dikelompokkan berasal dari dua kategori, yang pertama adalah Hukum Perdata, dan kedua yaitu Hukum Acara Perdata.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Hukum Perdata dan Hukum Acara perdata?
2.      Bagaimana sejarah Hukum Perdata?
3.      Bagaimanakah perkembangan Hukum Perdata di Indonesia?
4.      Apa saja azas dan unsur Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata?
5.      Bagaimanakah sistematika Hukum Perdata?
6.      Apa saja sumber Hukum Acara Perdata?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui penjelasan dari Hukum Perdata dan Hukum Acara perdata.
2.      Untuk mengetahui sejarah Hukum Perdata.
3.      Untuk mengetahui perkembangan Hukum Perdata di Indonesia.
4.      Untuk mengetahui azas dan unsur Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.
5.      Untuk mengetahui sistematika Hukum Perdata.
6.      Untuk mengetahui sumber-sumber Hukum Acara Perdata.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum Perdata
1.      Definisi Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Saxson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
Ø  Definisi Hukum Perdata menurut para ahli:
1.      Sri Sudewi Masjchoen Sofwan
Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
2.      Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.
Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
3.      Sudikno Mertokusumo
Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan masyarakat.
4.      Prof. R. Soebekti, S.H.
Semua hak yang meliputi hukum privat materiil yang mengatur kepentingan perseorangan.
Ø  Definisi secara umum:
Suatu peraturan hukum yang mengatur orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain di dalam masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

2.      Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr. J. M. Kemper disebut ONTWERP KEMPER, namun sayangnya Kemper meninggal dunia pada tahun 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu:
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW atau Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Belanda.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)
Kodifikasi ini menurut Prof. Mr. J. Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
3.      KUHPer
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang - Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang - Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer, masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J. Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPer Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPer Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

4.       Hukum Perdata Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai tahun 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
5.      Unsur dan Azas Hukum Perdata
Ø  Unsur yang terpenting dari Hukum Perdata :
1)      norma peraturan
2)      sanksi
3)      mengikat/dapat dipaksakan

Ø  Azas-azas hukum perdata:
a)      Azas Individualitas
b)      Azas Kebebasan Berkontrak
c)      Azas Monogami (dalam hukum perkawinan)

a.       Azas Individualitas
Dapat menikmati dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya (hak eigendom) dan dapat melakukan perbuatan hukum, selain itu juga dapat memiliki hasil, memakai, merusak, memelihara, dan sebagainya. Batasan terhadap azas individualitas:
v  Hukum Tata Usaha Negara (campur tangan pemerintah terhadap hak milik)
v  Pembatasan dengan ketentuan hukum bertetangga
v  Tidak menyalahgunakan hak dan mengganggu kepentingan orang lain

b.      Azas Kebebasan Berkontrak
Setiap orang berhak mengadakan perjanjian apa pun juga, baik yang telah diatur dalam UU maupun yang belum (pasal 1338 KUHPer) asal perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan.
c.       Azas Monogami
Seorang laki-laki dalam waktu yang sama hanya diperbolehkan mempunyai satu orang istri. Namun dalam pasal 3 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Undang - Undang Pokok Perkawinan (UUPP) membuka peluang untuk berpoligami dengan memenuhi syarat-syarat pada pasal 3 ayat (2), pasal 4 dan pasal 5 pada UUPP.


6.      Perkembangan  KUHPer Di Indonesia
Hukum Perdata Eropa (Code Civil Des Francais) dikodifikasi tanggal 21 Maret 1804. Pada tahun 1807, Code Civil Des Francais diundangkan dengan nama Code Napoleon. Selanjutnya tahun 1811 – 1830, Code Napoleon berlaku di Belanda. KUHPerdata Indonesia berasal dari Hukum Perdata Belanda, yaitu buku "Burgerlijk Wetboek" (BW) dan dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848. Setelah kemerdekaan, KUHPer tetap diberlakukan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada (termasuk KUHPer) masih tetap berlaku selama belum ada peraturan yang baru menurut UUD ini. KUHPer mengalami beberapa perubahan, yaitu; tahun 1960: UU No.5/1960 mencabut buku II KUHPer sepanjang mengatur tentang bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali hypotek; Tahun 1963; Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 5 September 1963, dengan mencabut pasal-pasal tertentu dari BW yaitu pasal 108, 824 (2), 1238, 1460, 1579, 1603 x (1),(2) dan 1682; dan tahun 1974; UU No.1/1974, mencabut ketentuan pasal 108 tentang kedudukan wanita yang menyatakan wanita tidak cakap bertindak.

7.      Sistematika Hukum Perdata
a.       Menurut Ilmu Pengetahuan
Buku I : Hukum Perorangan (Personenrecht)
Buku II : Hukum Keluarga (Familierecht)
Buku III : Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
Buku IV : Hukum Waris (Erfrecht)
b.      Menurut KUHPer
Buku I : Perihal Orang (Van Personen)
Buku II : Perihal Benda (Van Zaken)
Buku III : Perihal Perikatan (Van Verbintennisen)
Buku IV : Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (Van Bewijs en Verjaring)
A.    Buku I :  Perihal  Orang
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban.
Subjek hukum terdiri atas :
-          Manusia/Perorangan ( Natuurlijk Persoon )
-          Badan Hukum ( Rechtpersoon )
Status manusia sebagai subjek hukum merupakan kodrat / bawaan dari lahir, sedangkan status badan hukum sebagai subjek hukum ada karena pemberian oleh hukum. Manusia dan badan hukum sama-sama menyandang hak dan kewajiban. Hal-hal yang membatasi kewenangan hukum manusia adalah tempat tinggal, umur, nama dan perbuatan seseorang. Buku I mengatur mengenai subjek hukum dan peraturan-peraturan hubungan keluarga, yang meliputi:
1)      Perkawinan dan hak-hak kewajiban suami/istri
2)      Kekayaan perkawinan
3)      Kekuasaan orang tua
4)      Perwalian dan pengampuan

1.      Perkawinan dan Hak – Hak Kewajiban Suami/Istri
Hukum perkawinan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibatnya antara 2 pihak yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan maksud untuk hidup bersama.
Hak dan kewajiban suami/istri adalah sebagai berikut:
1)      Kekuasaan marital ada pada suami
2)      Kewajiban nafkah dari suami
3)      Istri mengikuti domisili suami
4)      Istri berhak membuat surat wasiat tanpa seizin suami
2.      Kekayaan Perkawinan
Ketika perkawinan telah dilangsungkan/dilaksanakan, maka demi hukum berlakulah persatuan bulat antara kekayaan suami dan istri selama tidak adanya perjanjian lain.          
3.      Kekuasaan Orang Tua
Sebagai orang tua, wajib untuk memelihara dan memberikan bimbingan kepada anak-anaknya yang belum cakap (belum dewasa), kekuasaan orang tua berlaku selama orang tua masih terikat dengan perkawinan.
4.      Perwalian dan Pengampuan
a)       Perwalian
Perwalian diberikan kepada anak yatim piatu/anak yang belum dewasa (yang tidak dalam kekuasaan orang tua) guna memberikan bimbingan dan pemeliharaan terhadap anak tersebut.
b)      Pengampuan
Keadaan di mana seseorang tidak dapat mengendalikan emosinya, karena sifat-sifat pribadinya sehingga oleh hukum dianggap tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum.      
Ø  Curandus, adalah orang yang di bawah pengampuan.
Ø  Curator adalah orang yang ditunjuk sebagai wakil dari seorang curandus.
Ø  Curatele adalah lembaga pengampuan.
Pengampuan terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan pada adanya permohonan, yang dapat diajukan oleh :
Ø  Keluarga sedarah
Ø  Keluarga semenda dalam garis menyimpang sampai derajat keempat
Suami terhadap istri dan sebaliknya
Ø  Diri sendiri
Ø  Kejaksaan
Akibat pengampuan :
Ø  Orang tersebut kedudukannya sama dengan anak di  bawah umur
Perbuatan hukum yang dilakukan dapat dibatalkan (dapat dimintakan pembatalannya oleh curator).
Ø  Pengampuan berakhir apabila keputusan hakim tersebut dicabut atau karena meninggalnya curandus.


B.     Buku II: Perihal Benda
Keseluruhan aturan hukum yang mengatur mengenai benda, meliputi pengertian, macam-macam benda, dan hak-hak kebendaan. Hukum Benda bersifat tertutup dan memaksa. Tertutup adalah seseorang tidak boleh mengadakan hak kebendaan jika hak tersebut tidak diatur dalam UU, dan memaksa adalah harus dipatuhi dan dituruti, tidak boleh menyimpang.
Macam-macam benda/barang:
Ø  Benda berwujud dan tidak berwujud. Arti penting pembagian ini adalah, bagi benda berwujud bergerak dilakukan dengan penyerahan langsung benda tersebut, bagi benda berwujud tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Contoh yang menggunakan balik nama; tanah, rumah dan sebagainya. Sedangkan bagi benda tidak berwujud (seperti piutang) bisa dilakukan dengan cara cessie ataupun dengan cara penyerahan surat secara langsung.
Ø  Benda bergerak dan tidak bergerak. Arti pentingnya pembagian ini terletak pada penguasaan (bezit), penyerahan (levering), daluarsa (verjaring), serta pembebanan (berzwaring).
1)      Benda bergerak benda tidak bergerak. Penguasaan Orang yang menguasai benda dianggap pemiliknya Orang yang menguasai benda belum tentu adalah pemiliknya
2)      Penyerahan dilakukan dengan langsung dilakukan dengan balik nama
3)      Daluarsa/kadaluwarsa
4)      Pembebanan dengan penggadaian dengan di hypotek, hak tanggungan.
Ø  Benda habis dipakai dan benda tidak habis dipakai. Arti pentingnya pembagian ini terletak pada waktu pembatalan perjanjiannya. Jika dalam perjanjian objeknya adalah benda habis dipakai, apabila terjadi pembatalan perjanjian maka akan terjadi kesulitan untuk pemulihan objek tersebut karena telah terpakai. Maka dari itu, penyelesaiannya adalah dengan cara mengganti dengan benda yang sejenis dan senilai.
Ø  Benda yang sudah ada dan yang akan ada. Arti pentingnya pembagian ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang atau pelaksanaan perjanjian. Sesuai dengan pasal 1320 KUHPer, syarat sahnya perjanjian adalah adanya sepakat, cakap hukum, objek tertentu, dan halal. Jika objek yang dalam perjanjian itu adalah barang yang sudah ada, maka perjanjian sah-sah saja. Sebaliknya apabila objek yang diperjanjikan adalah barang yang akan ada, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Ø  Benda dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan. Arti pentingnya terletak pada cara pemindah tanganan. Benda dalam perdagangan dapat diperjualbelikan dan diwariskan secara bebas. Tetapi, jika benda di luar perdagangan tidak dapat diperjualbelikan ataupun diwariskan. Contoh benda di luar perdagangan; benda wakaf, narkotika, perdagangan wanita untuk pelacuran, dan lain sebagainya.
Ø  Benda dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Arti pentingnya pembagian terletak pada pemenuhan prestasi suatu perikatan. Contoh benda dapat dibagi; beras, minyak, air, kertas, dan lain-lain. Sedangkan contoh benda tidak dapat dibagi; binatang, manusia, mobil, rumah, kapal, dan lain-lain. Suatu benda dikatakan tidak dapat dibagi karena akan berubah nama dan fungsinya.
Ø  Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar. Pada benda terdaftar, kepemilikan dapat dilacak dengan mudah sedangkan pada benda tidak terdaftar lebih sulit untuk pembuktian kepemilikan. Contoh benda terdaftar; rumah, mobil, kapal, motor, dan lain-lain. Benda-benda tersebut ada surat kepemilikannya. Sedangkan contoh benda tidak terdaftar; uang, telepon, kursi, dan lain-lain.

C.     Buku III: Perihal Perikatan
Buku III mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata "Perikatan" di sini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "verbintenis". Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa misalnya lahirnya seorang bayi, matinya orang, dapat berupa keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum (legal relation) Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht) sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepakati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur di dalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat di simpangi dan aturan mana yang tidak dapat di simpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat di simpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat di simpangi (misal; syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).

D.    Buku IV: Perihal Pembuktian dan Kadaluwarsa
Buku keempat mengatur tentang pembuktian dan kadaluwarsa. Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara (HIR) namun juga diatur di dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata.
1)      Di dalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu:
a)      Surat-surat
b)      Kesaksian
c)      Persangkaan
d)      Pengakuan
e)      Sumpah
2)      Daluarsa/kadaluwarsa
Kadaluwarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai "pelepasan hak" atau "rechtsverwerking" yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukkan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.

B.     Hukum Acara Perdata
1.      Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata secara umum adalah peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim (di pengadilan) sejak diajukan gugatan, diperiksanya gugatan, diputusnya sengketa sampai pelaksaan putusan hakim. Hukum acara perdata mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiel dalam hal apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum materiel.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap pengadilan dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formal, yaitu semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiel.
Dalam hukum acara perdata bahwa orang yang merasa haknya dilanggar disebut penggugat, sedangkan bagi orang yang ditarik ke muka pengadilan karena dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu disebut dengan tergugat. Penggugat adalah seseorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim.

2.      Sumber Hukum Acara Perdata
Di dalam ilmu hukum, dikenal beberapa sumber hukum dalam arti formal, yaitu:
1)      Undang – Undang
2)      Perjanjian (antarnegara)
3)      Kebiasaan
4)      Doktrin
5)      Yurisprudensi
Sumber hukum acara perdata adalah tempat di mana dapat ditemukan peraturan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, yaitu:
1)      Herziene Inlandsch Reglemen (HIR)
HIR adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura.
2)      Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg.)
Adalah hukum perdata Eropa yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia. RBg adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura.
3)      Burgerlijk Wetboek (WB)
BW (Kitab Undang – Undang Hukum Perdata), meski meskipun sebagai kodifikasi hukum perdata materiel, namun juga memuat Hukum Acara Perdata, terutama dalam Buku IV tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa.
4)      Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29
5)      Wetboek van Koophandel (WvK)
6)      Undang – Undang
7)      Yurisprudensi
8)      Peraturan Mahkamah Agung
9)      Adat dan Kebiasaan
10)  Doktrin
11)  Instruksi dan Surat Edaran MA

3.      Azas – Azas Hukum Acara Perdata
        Asas dari hukum acara perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaannya yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan.
1.      Hakim Bersifat Menunggu
Maksudnya ialah menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya, jika tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim.
2.      Hakim Pasif
Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim tidak boleh menambah atau mengurangi. Akan tetapi, itu semua tidak berarti  bahwa hakim tidak aktif sama sekali .
3.      Sifatnya Terbuka Persidangan
Sidang pemeriksaan di pengadilan pada asanya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan persidangan. Tujuannya ialah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair.
4.      Mendengar Kedua Belah Pihak (Penggugat dan Tergugat Melalui Surat – Surat)
Dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
5.      Putusan Harus Disertai Alasan – Alasan
MA dalam berbagai putusannya menggariskan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertanggungjawabkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalnya.
6.      Beracara Dikenakan Biaya
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya panggilan pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Namun bagi yang tidak mampu untuk membayar perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi.
7.      Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan perkaranya kepada orang lain, sehingga pemeriksaan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya  jika dikehendaki.

8.      Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat, dengan Biaya Ringan (Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009)
Sederhana, maksudnya acara tersebut jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat menunjukkan jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut-larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya. Biaya ringan maksudnya biaya yang sesederhana mungkin sehingga dapa terjangkau oleh masyarakat.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hukum Perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan – kepentingan perorangan. Jadi, dalam peradilan hukum perdata itu diutamakan perdamaian karena hukum itu tidak hanya difungsikan untuk menghukum seseorang, tapi juga sebagai alat untung mendapatkan keadilan. Sedangkan Hukum Acara Perdata adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara itu terjadi melalui peradilan.
B.     Saran
    Dengan adanya Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata di Indonesia ini kita diharapkan mampu untuk mencegah, ataupun menjauhi tindakan-tindakan pidana maupun perdata, karena sekecil apa pun tindakan yang bisa merugikan orang lain bahkan mencelakai orang lain, kita akan dihadapkan dengan kedua hukum di atas.

DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Zainal. Hukum Acara Perdata di Indonesia. 2015. Kencana. Mataram